Di sebuah sekolah menengah pertama di pinggiran kota, seorang guru menyempatkan diri berbincang dengan orang tua murid setelah jam pelajaran usai. Bukan tentang nilai matematika atau PR yang belum selesai, tapi tentang perubahan sikap anak yang belakangan tampak lebih mudah marah dan sulit diajak bicara. Percakapan itu tidak selesai dalam lima menit, tapi justru membuka pintu bagi hal yang lebih besar: kesadaran bahwa pendidikan bukan milik sekolah semata.
Di tengah tuntutan zaman yang serba cepat dan kompetitif, banyak yang lupa bahwa tujuan utama pendidikan bukanlah sekadar mencetak manusia yang cerdas secara intelektual, tetapi membentuk pribadi yang utuh—yang tahu siapa dirinya, kepada siapa ia berutang ilmu, dan untuk apa ilmu itu digunakan.
Inilah yang pelan-pelan memudar: ruh pendidikan sebagai proses penanaman adab—yakni, kemampuan untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Anak yang tahu adab akan menghargai ilmu, menghormati gurunya, mencintai orang tuanya, dan menyadari bahwa belajar bukan sekadar untuk mencari kerja, tetapi untuk memperbaiki diri dan memberi manfaat bagi sesama.
Namun, proses penanaman adab tidak bisa hanya mengandalkan sekolah. Pendidikan sejati hanya mungkin lahir jika rumah dan sekolah berjalan beriringan. Guru yang mengajarkan kejujuran di kelas, akan kesulitan jika anak melihat kebohongan di rumah sebagai hal biasa. Nilai tanggung jawab tak akan berakar jika di rumah anak dibiasakan untuk menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri.
Kolaborasi orang tua dan sekolah bukan sekadar datang ke rapat wali murid. Ini soal kesepahaman nilai. Soal menyamakan visi: bahwa anak bukan hanya harus “jadi pintar”, tapi jadi benar. Bahwa prestasi bukan cuma soal piala, tapi tentang akhlak ketika kalah, rendah hati ketika menang.
Pendidikan yang melepaskan diri dari akar nilai-nilai spiritual dan adab, ibarat rumah megah tanpa fondasi. Indah di luar, tapi rapuh di dalam. Kita butuh kembali ke arah pendidikan yang utuh—yang tidak memisahkan ilmu dari kebijaksanaan, tidak menjauhkan akal dari akhlak.
Dan itu semua, tidak bisa dikerjakan oleh sekolah sendirian. Ia harus menjadi gerakan bersama—dimulai dari ruang kelas, diperkuat di meja makan rumah, dan dirawat oleh kesadaran kolektif bahwa mendidik anak bukan soal hari ini, tapi soal masa depan umat manusia.
Penyunting: Putra